Antologi Purba 1
Daripada hilang, yang masih tersisa dari tulisan lama aku muat saja.
Doa Masuk Stasiun Purwokerto
painting by Pierre Auguste Renoir
Doa Masuk Stasiun Purwokerto
Ya Tuhan,
Ampuni hamba,
Terima kasih atas malam yang lalu baru saja,
Terima kasih atas mentari dan kesempatan yang dibawanya.
Biarkan hari ini terasa manis walau sekedarnya,
Beri lah waktu pacaran walau sebentar saja.
Aamiin.
Mati Berkali-kali
Aku mestinya sudah mati berkali-kali.
Jika lesung pipi menyebabkan serangan jantung,
manis senyum menaikkan gula darah,
wajahmu adalah senjata pemusnah masal.
Berserak cinta yang mati sia-sia.
Aku pastilah sudah mati berkali-kali.
Terbakar aura mu,
tenggelam dalam kedalaman matamu.
tersesat dalam mimpi yang membius.
Cengkeraman senyummu.
Mungkin aku memang sudah mati.
Dan dekatmu adalah surga.
Kereta Terlambat
Lokomotif menggeram menggongong.
Perkasa ribuan daya kuda.
Menerjang menghantam apapun juga.
Roda roda yang mencengkeram baja.
Tapi terlambat dia datang.
Di belakang jarum panjang jam yang berdetak pelan.
Rapat dan teratur seperti rambut panjang perawan.
Menculik penumpangnya dalam buaian kepastian.
setelah medangan di bulan Januari
Jelaga
Hatiku berjelaga
Seperti tembikar kering,
hangus retak.
Tak bisa menampung apapun juga.
Tak ada guna.
Kudapati hatiku berjelaga.
Menghitam pekat.
Burung-burung gagak,
serigala menyalak,
merayakan rimba raya hati
yang melintang pukang.
Dan kudapati hatiku berjelaga
mengotori jiwa yang mengerak dan membatu.
Bergidik dan dingin seperti belati.
Menderu dan gelap seperti topan di malam hari.
Tuhan tolong aku.
Jakarta, 9-1-18
kadang Tuhan menyapa dengan cara yang lucu saat ulang tahun
Apel Malam Minggu
Malam itu aku gembira,
hingga ku kutuk bulan.
Agar berhenti di tempatnya.
Dan kunikmati malam itu
sepuas-puasnya.
Dan kupandangi matanya,
masuk ke dalam keindahan jiwanya.
Lalu kutanya langsung pada hatinya,
Apakah kau gembira juga?
Rasanya botol-botol itu
telah selamanya memenjarakanku.
Pada cinta yang memabukkan.
Pada harapan tinggi untuk meloncati dinding-dinding itu.
Memenjarakanku pada kenyataan,
yang bibirmu selalu katakan,
tak mungkin kita bersama.
Namun pada saat yang sama,
matamu memojokanku pada ketidakberdayaan untuk bernafas dengan nafasmu.
Lantas pagi merekah kemudian,
hingga ku kutuk matahari.
Karena membangunkanku dari mimpi.
Dan mengusirku pergi.
purwokerto, sehari setelah apel berjamaah
Kurang Ajar
Kau.
Mesiu dalam riffle ku.
Kerikil dalam sepatuku.
Bara pada rokokku.
Buku buku jari pada tinjuku.
Alkohol dalam darahku.
Lalu aku mabuk kau.
Dan aku tak juga ingin sadar.
Kau
Ledakan senapanku
Petir dalam badaiku
Api dalam tungku nyawaku.
Gelembung dalam air mendidih,
yang panaskan kopiku,
yang memenuhi lamunan.
Kebodohan remaja di masa tua.
Kau
Memang kurang ajar cantiknya.
Bandara Halim, 16 Jan 18
Komentar
Posting Komentar